Perjalanan ke Baduy
Hampir setiap
manusia menyukai jalan-jalan, entah untuk mentadabburi alam atau hanya sekedar
melepas penat. Begitu pun dengan aku. Namun, perjalanan kali ini benar-benar
berbeda dari biasanya. Aku mengunjungi salahsatu desa wisata yang ada di
Indonesia. Dulu, ketika sekolah dasar guruku sering sekali menceritakan desa
tersebut; desa cibolegar yang didalamnya terdapat suku baduy; suku yang tidak
terkontaminasi sedikitpun dengan modernisasi.
Berawal dari
rasa penasaran, pagi itu setelah shubuh aku pergi bersama seorang teman menuju
stasiun rangkasbitung menggunakan kereta untuk bertemu dengan guide yang akan
menemani perjalanan kami selama dua hari di desa tersebut. Kurang lebih lima
jam sampai akhirnya aku bersama teman-teman lain sampai di desa cibolegar, desa
pembuka sebelum kami melanjutkan perjalanan menuju desa yang dihuni oleh suku
baduy. Ahiyaa, aku mengikuti open trip supaya perjalanan tambah ramai dan
bonusnya aku mendapat banyak teman baru selama perjalanan.
Saat itu, aku
bersama rombongan sama sekali tidak tahu sepak terjang yang akan kami lalui
pada perjalanan kala itu. Kami fikir, kami hanya sekedar mengunjungi desa
wisata dengan masuk dari desa ke desa yang didalamnya terdapat suku baduy.
Hingga pada akhirnya, guide kami memberitahu bahwa pada perjalanan kali ini
membutuhkan waktu sekitar 6-7 jam untuk sampai di baduy dalam dengan berjalan
kaki. Aku masih tidak percaya. Anehnya, aku tidak ada niat untuk mencari tahu
tentang suku tersebut melalui internet. Mungkin karena aku benar-benar ingin menikmati
perjalanan kali ini bagaimanapun jalurnya.
Perjalanan
kami di mulai, melewati jalanan yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.
Jalannya pun naik turun dan sangat terjal. Hingga beberapa kali aku dan
teman-teman meminta untuk istirahat sejenak melepas lelah. Entah sudah berapa
botol air mineral yang kami teguk. Entah sudah merogoh kocek ke sekian kali
hanya untuk membeli air mineral. Selama perjalanan menuju desa Baduy, kami
menjumpai masyarakat yang menjual air mineral, dengan menempuh perjalanan yang
tentunya tidak mudah, satu botol air mineral berukuran 600ml pun dihargai
sepuluh ribu rupiah.
Suku baduy
sendiri terbagi menjadi dua; baduy luar dan baduy dalam. Untuk menempuh
perjalanan ke baduy luar hanya sekitar 2-3 jam dengan berjalan kaki. Sedangkan
untuk sampai ke baduy dalam memerlukan waktu 5-6 jam. Lalu sebenarnya apakah
ada perbedaan dari kedua suku baduy tersebut? Tentu ada. Meskipun keduanya
sama-sama tidak mau menerima pasokan listrik dari pemerintah, namun baduy luar
agak sedikit lebih terbuka pemikirannya. Terlihat dari sikap mereka yang mulai
menggunakan alat komunikasi, menggunakan pasta gigi, dan berpakaian selain
warna hitam dan putih. Ohiya, selama di baduy luar, para wisatawan
diperbolehkan untuk mengeluarkan handphone dan mendokumentasikan kehidupan
mereka. Kemudian timbul pertanyaan, jika mereka tidak ada listrik tetapi
memiliki handphone, bagaimana mereka mengisi daya baterai handphone tersebut?
Mereka menggunakan aki untuk mengisi daya baterai. Benar-benar kehidupan yang sulit
demi melestarikan adat mereka.
Pukul 17:30,
aku bersama rombongan sampai di baduy dalam. Sebelumnya, guide kami memberitahu
beberapa aturan yang harus kami taati ketika sampai ke dalam desa tersebut. Kami
tidak diperbolehkan mengeluarkan handphone selama disana, meskipun hanya
dijadikan alat penerang saja (senter). Kami juga dilarang mengeluarkan sabun
cair, shampoo, dan alat mandi lainnya. Karena kami harus menggunakan dedaunan
untuk mandi sebagaimana mereka. Konsekuensi jika kami melanggar, kami bisa saja
diusir saat itu juga tidak peduli malam yang gelap gulita.
Aku tinggal di
rumah salahsatu warga yang sedikit bisa berbahasa Indonesia. Karena hampir 80%
warga disana tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka menggunakan bahasa sunda
kasar untuk berbicara sehari-hari. hari itu, doaku hanya satu “semoga aku tidak
ingin buang hajat”, sebab aku tidak terbiasa melakukan hal tersebut di sungai
yang tidak ada penutupnya sama sekali. Ya, mereka benar-benar memanfaatkan alam
yang diciptakan Tuhan untuk mereka, sehingga
mereka menjalani kehidupan menggunakan alam yang ada termasuk buang hajat
didalamnya. Hari semakin gelap, aku dan rombongan memutuskan untuk
bersih-bersih ke sungai, kamipun diberikan daun panjang yang bentuknya seperti
daun pisang untuk mandi; daun henjo namanya. Daun wangi yang membuat tubuh
benar-benar lembut. “Mungkin ini rahasia tubuh perempuan baduy berwarna kuning
langsat dan bersih” batinku saat itu, melihat betapa warna kulit perempuan
baduy seperti perempuan yang rajin perawatan di kota-kota besar.
Penyinaran
yang mereka lakukan menggunakan lampu sorong dari minyak kelapa, itupun hanya
ada di dalam rumah saja, sedangkan jalan menuju sungai atau rumah warga yang
lain benar-benar gelap. Sunyi, sepi, tentram, dan nyaman sekali rasanya karena
yang terdengar hanya suara jangkrik dan alat musik kecapi yang dimainkan
salahsatu warga. Membuat diri lupa akan rasa lelah untuk menempuh desa
tersebut.
Keesokkan
harinya, di pagi hari yang dinginnya saja masih menusuk sendi-sendi tulang, aku
berjalan keliling desa berniat mengunjungi rumah ketua Puun (Kepala adat) yang
begitu mereka menyebutnya untuk menggali lebih dalam tentang suku tersebut.
Beliau Puun,
merupakan kepala adat yang sudah menjabat kurang lebih 50 tahun dipilih melalui
wangsit[1]
dari para leluhur. Mereka memiliki kepercayaan “Sunda Wiwitan”, suatu
kepercayaan yang mempercayai adanya Allah, bernabi-kan Adam, namun menjunjung
tinggi alam serta para leluhur. Pantas saja, aku tidak mendengar adanya adzan ketika
disana, ketika bertanya arah kiblatpun mereka hanya menyebutkan arah mata angin
saja. Beribadah yang mereka lakukan hanya dengan berperilaku baik terhadap
sesama tidak peduli apapun sukunya serta berdoa (berkumpul bersama dengan
memanggil para leluhur).
Hal mendasar
yang ku tanyakan pertama kali adalah bagaimana sikap mereka terhadap perempuan,
apakah terdapat diskriminasi sosial. Tetapi nyatanya tidak, mereka
memperlakukan perempuan dengan baik. Memerankan peran orangtua bersam-sama,
bagi anak yang berumur dibawah 10 tahun akan berada di bawah asuhan ibu apapun
jenis kelaminnya, sedangkan bagi anak laki-laki yang berumur 10 tahun berada
dibawah pengawasan ayah, sedangkan perempuan dibawah pengawasan sang ibu.
Bahkan demi menjaga perasaan perempuan, mereka mengecam adanya poligami dan diwajibkan
menikah hanya satu kali seumur hidup.
Ada beberapa
pantangan yang wajib diikuti bagi masyarakat baduy, yaitu; tidak boleh
mengenakan pakaian berwarna-warni, hanya hitam dan putih, tidak boleh
menggunakan bahan lain untuk mandi selain daun henjo (untuk sabun) dan daun
kicaang (untuk keramas), tidak boleh memelihara sapi dan kambing ataupun
memakannya, rumah adat yang harus menghadap selatan dan utara, tidak boleh
bersekolah atau sekedar melakukan perkumpulan untuk menambah ilmu. Sebab mereka
mengkhawatirkan adanya pemberontakan atau masyarakat yang ingin keluar dari
baduy jika mereka berilmu sehingga lama kelamaan suku baduy akan punah.
Terakhir yang
aku tanyakan, jika ada salahsatu dari mereka yang meninggal lalu apakah ada
ritual adat yang dilakukan serta bagaimana cara penguburannya. Karena mengingat
tidak aku temui kuburan selama perjalanan ke desa tersebut. Ketua adat itu menjelaskan, bahwa mereka
menguburkannya seperti biasa, layaknya agama Islam hanya saja karena mereka
tinggal di alam yang bebas (hutan) jadi tidak ada penanda dan bebas menguburkan
dimana saja. Beliau menambahkan tidak adanya ritual khusus ataupun doa-doa
untuk mereka yang berpulang. Mereka lebih mengedepankan ritual untuk acara
pernikahan yang biasa di gelar selama empat hari lamanya. Wah, benar-benar suku
yang terjaga di era digital saat ini.
Nah, kalau
kalian ke baduy, jangan lupa untuk membeli madu khas baduy. Madu yang terkenal
dengan rasanya yang legit. Kalian juga tidak perlu khawatir, sebab masyarakat
sana sangat ramah, cinta perdamaian, setia dan toleransi tinggi. Mereka yang
tidak terkontaminasi dengan apapun saja sangat menjunjung tinggi perdamaian
antar manusia, lantas bagaimana dengan kita?
Semoga
bermanfaat yaa.
[1] Menurut kepercayaan mereka, wangsit ada
ketika ritual/perkumpulan para tetuah adat untuk memilih ketua maupun wakil
yang telah berpulang. Pada saat ritual tersebut, mereka memanggil para leluhur,
dan salahsatu dari mereka yang dipilih oleh leluhur akan menyebutkan nama
seseorang. Tetapi setelah mengatakan hal tersebut orang itu akan lupa dengan
apa yang dikatakannya.
Komentar
Posting Komentar